Kamis, 19 Maret 2015

Kebijakan Moneter



MAKALAH
PEREKONOMIAN INDONESIA
ANALISA KEBIJAKAN MONETER




 Nama Dosen: Immi Fiska

Nama Kelompok:


  • Ancas Asri Wulandari  2D214048
  • Chico Ferdinand           22214345
  • Devina Vedasiwi           22214846
  • Fathurrahman Sadzali   24314035
  • Latifah Arrum Sanda    25214998
  • Titan Herdianto           2A214790
  • Yusuf Pujianto               2C214616

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, bahwa kami telah menyelesaikan tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar. Dalam tugas atau materi ini tidak sedikit hambatan yang kami hadapi, namun kami menyadari bahwa keberhasilan dalam menyusun materi ini berkat bantuan, dorongan, dan Bimbingan orang tua. Sehingga kendala-kendala yang kami hadapi dapat teratasi, oleh karna itu kami mengucapkan terima kasih kepada:


1.      Immi Fiska selaku dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
2.      Selaku orang tua kami yang telah membantu kami dalam segi materi, dorongan, dan dukungan.
3.      Serta teman-teman yang telah memberikan masukan sehingga makalah dapat terselesaikan.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber pengetahuan untuk berbagai pihak khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat terselesaikan. Amiin.




Bekasi,  20 Maret 2015


Penulis            



                                                       Daftar Isi                                                      
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………2
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………….3
Bab 1   : Analisis Kebijakan Moneter di Indonesia ………………………………………………4
Bab 2   : Analisis Aspek Kelembagaan Pada Kebijakan Moneter di Indonesia ………………….6
Bab 3   : Analisa Capital Flight di Indonesia dan Cara Mengatasinya …………………………...7
Bab 4   : Analisa Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang ………………………….8
Bab 5   : Analisa Periodisasi, Implementasi Kebijakan Indonesia Kaitannya Dengan Masa Orde Lama dan Orde Baru …………………………………………………………………….11
Bab 6   : Analisa Fenomena Kebijakan Moneter Yang Terjadi di Indonesia dan Cara Mengatasinya …………………………………………………………………………....14
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………..26

 

1.      Analisis Kebijakan Moneter di Indonesia

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar perekonomian menjadi baik, baik disini maksudnya adalah terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan perekonomian. Melalui kebijakan moneter, Pemerintah dapat mengatur jumlah uang yang beredar pada masyarakat, diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat dalam upaya untuk mempertahankan ekonomi bertumbuh sekaligus mengendalikan inflasi. Indonesia pun tidak luput dari kebijakan moneter tersebut. Di Indonesia, beberapa kali kebijakan moneter diambil untuk mengatasi inflasi yang ada. Kebijakan Moneter tersebut diambil dengan memunculkan berbagai macam kebijakan publik yang harus ditaati oleh seluruh Warga Negara Indonesia. Adapun kebijakan moneter sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a.       Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
b.      Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).
Untuk menjalankan kebijakan moneter diatas, pemerintah memiliki 3 Instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), Fasilitas Diskonto (Discount Rate), dan Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio). Diluar dari 3 instrument tersebut (yang menrupakan kebijakan moneter bersifat kuantitatif), pemerintah dapat melakukan himbauan moral (Moral Persuasion.
a)      Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (goverment securities). Jika ingin menambah jumlah uang yang beredar, Pemerintah akan membeli surat berharga. Namun, bila ingin mengurangi jumlah uang yang beredar, maka Pemerintah akan menjual surat berharga kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan SBPU (surat Berharga Pasar Uang).

b)      Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas Diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat suku bunga Bank Sentral pada Bank Umum. Bank Umum terkadang mengalami kekurangan dana sehingga harus meminjam kepada Bank Sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, Pemerintah menurunkan tingkat bunga Bank Sentral (tingkat diskonto). Dengan tingkat bunga yang lebih rendah maka pinjaman akan semakin besar diminati oleh Bank Umum. Sebaliknya jika Bank Sentral menaikkan tingkat bunga pinjaman, maka minat Bank Umum untuk meminjam kepada Bank Sentral akan berkurang. 

c)      Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio Cadangan Wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, Pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Namun bila tujuannya untuk mengurangi jumlah uang beredar, maka Pemerintah akan menaikkan rasio.

d)     Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan agar memberikan kredit secara hati-hati untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.


2.      Analisis Aspek Kelembagaan Pada Kebijakan Moneter di Indonesia
Kebijakan Moneter di Indonesia adalah suatu kebijakan yang diambil untuk mengatasi inflasi yang ada di Indonesia. Untuk membuat kebijakan tersebut, hanya ada 2 instrument utama yang memiliki kekuasaan. Langkah kebijakan moneter di Indonesia dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia dimana lembaga yang berhak menjalankan kebijakan moneter tersebut adalah Bank Sentral yang ada di Indonesia. Dalam hal ini kebijakan moneter yang ada di Indonesia yang dimaksud adalah Bank Indonesia. Bank Sentral adalah bank yang mempunyai hak monopoli untuk mencetak dan mengedarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dalam suatu Negara. Tujuan Bank Sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Adapun fungsi dari Bank Sentral adalah
·                     Banker’s bank
·                     Sebagai Bank pemerintah
·                     Mencetak Uang dan Penyediaan Uang bagi perekonomian
·                     Mengatur Pasar Uang dan Pasar Modal
·                     Mengawasi Bank – Bank dan lembaga Keuangan
·                     Melaksanakan kebijakan Moneter di Indonesia

Contohnya:
rasio cadangan wajib mulanya hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima, perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari deposito yang diterima oleh perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang dari sistem perbankan adalah 10. Namun bila pemerintah menetapkan rasio cadangan wajib sebesar 20%, maka dari setiap deposito yang diterima, perbankan hanya dapat mengalirkan dana pinjaman sebesar 80% dari deposito yang diterima oleh perbankan. untuk pertama kalinya sejak Pakto 1998, Bank Indonesia menggunakan rasio cadangan wajib guna mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih tinggi, yaitu dengan menetapkan rasio cadangan menjadi 3% pada Februari 1996. Sejak April 1997, besarnya rasio cadangan wajib adalah sebesar 5%.

3.   Analisa Capital Flight di Indonesia dan Cara Mengatasinya
            Capital Flight sebenarnya bukan hal baru dikalangan para ekonom. Secara teoritis capital flight telah banyak dibicarakan. Namun sampai saat ini belum ada definisi capital flight yang dapat diterima secara umum. Tetapi beberapa tahunh ini penggunaan kata capital flight sering dikaitkan pada negara-negara sedang berkembang, dimana terjadi sejumlah besar modal keluar (capital outflow) yang diiringi oleh adanya peningkatan hutang luar negeri.
            Pendapat mengenai capital flight dikemukakan oleh Mohsin Khans-Ulhaque (1987) yang mendefinisikan capital flight sebagai semua arus modal keluar (capital outflow) dari negara sedang berkembang dengan tidak memperhatikan latar belakang terjadinya arus modal tersebut dari dalam negeri dan jenis modal tersebut. Diartikan sebagai capital flight karena pada umumnya modal dinegara sedang berkembang kurang(langka), maka arus modal keluar dapat berarti menghilangkan potensi sumber daya modal yang tersedia, serta pada gilirannya menghilangkan pula potensi pertumbuhan ekonomi. Sementara Cuddington (1986)  mengartikan capital flight sebagai semua arus modal keluar jangka pendek (short term capital outflow) baik yang tercatat mauipun yang tidak tercatat.
            Hampir tidak mungkin tidak memastikan jumlah capital flight dari suatu negara, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem devisa bebas. Bahkan untuk negara yang menganut devisa ketat sekalipun, seperti Taiwan, arus modal tetap saja keluar tanpa diketahui oleh otoritas moneter negara tersebut. Oleh karena itu, metode yang lebih tepat untuk menggrafikkan besarnya capital flight dari suatu negara adalah dengan melakukan estimasi. Apapun untuk melakukan estimasi mengenai capital flight dapat dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan yakni:
a.       Pendekatan Komputasi Neraca Pembayaran
b.      Pendekatan Residual
c.       Pendekatan Deposito Bank

Di Indonesia pernah mengalami kasus capital flight. Bahkan jika diteliti lebih jauh, keadaan yang sebenarnya adalah Indonesia setiap tahun mengalami capital flight dengan estimasi besaran yang tidak dapat diketahui secara pasti. Kasus capital flight yang pernah diteliti adalah pada tahun 1996 sampai dengan 2009. Penelitian capital flight ini dilakukan oleh Kus Virgantari dari Universitas Indonesia dengan menggunakan data yang ada pada tahun 1996 s/d 2009.
Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa Indonesia mengalami capital flight tertinggi pada tahun 1997 menuju ke tahun 1998 dikarenakan terjadinya krisis ekonomi di asia tenggara. Kemudian capital flight kembali terjadi pada tahun 2005 karena terjadinya kasus Bom Bali dan juga kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Setahun kemudian pada tahun 2006 kembali terjadi kasus capital flight karena penurunan suku Bunga SBI. Dan terakhir terjadi pada tahun 2008 karena adanya krisis global yang juga melanda Indonesia.
Untuk mengatasi masalah capital flight tersebut, dapat dilakukan beberapa cara agar capital flight dapat diredam di Indonesia. Jika capital flight tidak dapat diredam lajunya, maka Indonesia akan menjadi terpuruk karena kurangnya investasi yang terjadi. Cara yang dapat dilakukan adalah:
1.                  Kebijakan yang tidak terlalu mengontrol tingkat suku bunga tetapi menjamin kepemilikan modal dan aset milik orang asing.
2.                  Kebijakan yang menjamin stabilitas politik dan makroekonomi secara umum. (inflasi yang terkendali, pengangguran rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan nilai tukar yang stabil).
3.                  Penetapan pajak yang tidak terlalu tinggi dan adanya asuransi bagi investor


4.      Analisa Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang

Devaluasi mata uang adalah suatu tindakan penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing lainnya yang dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai mata uang tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negera yang bersangkutan.
Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai namun dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku secara otomatis karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan pemerintah. Tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor yang terus menurun dan industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja. Adapun tujuan dari devaluasi adalah
1.      Mendorong ekspor dan membatasi impor. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki posisi balance of payment, BOP dan balance of trade, BOT agar menjadi  equilibrium atau setidaknya mendekati equilibrium.
2.      Mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Hal ini dapat dicapai karena nilai barang impor menjadi lebih mahal dibanding barang lokal, atau domestik.
3.      Dengan tercapainya kesetimbangan BOP diharapkan nilai kurs valuta asing  dapat menjadi relatif stabil.
Tindakan Devaluasi yang diambil oleh pemerintahan dapat mempengaruhi aktivitas perekonomian baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, tindakan devaluasi dapat menggeser pengeluaran atau expenditure switching dari komsumsi produk luar negeri kepada konsumsi produk dalam negeri. Pergeseran konsumsi ini dapat berakibat terhadap kenaikan harga barang dan jasa dalam negeri. Kenaikan harga ini akan berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat.  Konsumsi masyarakat cenderung turun.
Penurunan konsumsi dapat menyebabkan turunnya aktivitas ekonomi yang dapat mendorong terjadinya deflasi. Kondisi ekonomi ini dapat mengakibatkan terjadinya resesi ekonomi. Dalam jangka menengah, tindakan devaluasi dapat memperbaiki posisi balance of payment, atau BOP dan balance of trade, atau BOT melalui mekanisme elastisitas permintaan ekspor dan impor sesuai dengan Marshall-Lerner-Condition. Selain itu, devaluasi dapat juga memperbaiki posisi BOP melalui mekanisme moneter.
      Dampak jangka panjang merupakan akibat dari dampak yang terjadi pada jangka pendek dan menengah. Dalam jangka pendek terjadi perubahan harga produk dan pergeseran konsumsi diikuti dengan peningkatan aliran modal atu devisa pada jangka menengah. Dampak ini menyebabkan terjadinya pergeseran produksi atau production switching, baik yang menyangkut tradeable goods maupun nontradeable good. Pergeseran produksi ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi secara nasional.
Ada beberapa pengaruh dari devaluasi:
1.      Efek terhadap aliran barang (komoditi)
2.      Efek terhadap harga luar negeri
3.      Efek terhadap harga dalam negeri
4.      Efek terhadap kuantitas nilai tukar yg diminta
5.      Efek terhadap kuantitas nilai tukar yang ditawarkan
6.      Efek terhadap Term of Trade (TOT)
7.      Efek terhadap Balance Of Trade (BOT)
8.      Efek terhadap konsumsi domestik dan produksi domestik
Berkaitan dengan kurs mata uang asing, di samping kurs itu dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing yang bersangkutan, pemerintah juga sering mengambil kebijakan penentuan kurs. Kebijakan tersebut bisa berupa devaluasi maupun revaluasi.
      Devaluasi adalah kebijakan menurunkan nilai mata uang dalam negeri atas mata uang asing. Misalnya, semula US$ 1=Rp 400,00 lalu menjadi US$=Rp 650,00 (devaluasi pada tanggal 15 November 1978). sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan menaikkan nilai mata uang dalam negeri atas mata uang asing.
      Perlu di cacat bahwa penurunan nilai rupiah terhadap mata uang asing pada masa krisis moneter di Indonesia (sejak 1997) tidaklah termasuk devaluasi, sebab bukan merupakan  kebijakan pemerintah. Penurunan nilai akibat tarik menarik antara permintaan dan penawaran terhadap mata uang rupiah di pasar internasional dan nasional.
      Dengan devaluasi, nilai mata uang asing terhadap Rupiah menjadi naik. Akibatnya, harga barang-barang impor menjadi sangat tinggi jika dinilai dengan rupiah. Harapan pemerintah, dengan kebijakan ini impor dapat dikurangi. Sebaliknya, barang-barang yang kita ekspor ke luar negeri menjadi turun nilainya jika mata uang importirnya bukan rupiah (sekalipun dilihat dari rupiah tidak turun). Karena nilai barang-barang ekpor kita di luar negeri lebih rendah maka diharapkan volume ekspor bisa naik (bisa bersaing di pasar internasional).
      Dengan adanya kenaikan ekspor dan penurunan impor, diharapkan perusahaan-perusahaan di dalam negeri bisa berkembang. Akibatnya, akan dapat menyerap tanaga kerja yang menganggur dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
      Namun, devaluasi juga mempunyai dampak negatif. Adanya devaluasi membuat harga-harga di dalam negeri mejadi naik. Selain itu, orang-orang Indonesia yang mempunyai utang luar negeri dalam bentuk mata uang asing menjadi terpukul sebab utang tersebut menjadi membengkak jika dilihat dari Rupiah.

Contoh:
Utang Adi US$1 juta. Apabila ia bayar utangnya sebelum 15 November 1978, ia harus membeli US$ dengan kurs US$ 1 = Rp 400,00. jadi Adi harus herus mengeluarkan Rp 400 juta. Namun, apabila ia harus membayar utangnya setelah 15 November 1978, Adi harus mengeluarkan Rp 650 juta ini berarti, devaluasi mengakibatkan utang Adi bertambah dalam nilai Rupiah sebesar Rp250 juta. “tambahan” utang  ini dapat mendorong Adi untuk menaikkan harga barang.


5.   Analisa Periodisasi, Implementasi Kebijakan Indonesia Kaitannya Dengan Masa Orde Lama dan Orde Baru 
a. Kebijakan Moneter Orde Lama
Kebijaksanaan pemerintah pada masa ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan semua factor dari unsur-unsur peninggalan orde lama, tertama dari paham komunis. Selain itu kebijaksanaan pemerintahan dalam mengupayakan penurunan tingkat inflansi yang masih sangat tinggi. Kebijakan ini cukup berhasil menekan inflasi dari +/- 650% menjadi hanya +/- 10% saja,suatu prestasi ekonomi yang tidak kecil. Kebijakan di bidang moneter dengan tujuan untuk menaikkan hasil produksi nasional,serta untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor,yang pada masa ini menjadi lemah karena :
1.                  Adanya inflasi yang besarnya rata-rata 34%,sehingga komoditi ekspor Indonesia menjadi mahal di pasar dunia,akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk sejenis dari Negara lain.
2.                  Adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979.

Pada Awal Masa Orde Baru
            Di awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Soeharto.
            Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Soekarno, pendahhulunya. Hal ini beliau lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.
            Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1.            Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya penerimaan Negara, tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2.            Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3.            Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:
1.      Mengadakan operasi pajak.
2.      Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
3.      memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya penerimaan Negara, tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana
4.      Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
5.      Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara :
1.      Mengadakan operasi pajak.
2.      Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Jadi Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan tujuannya untuk  terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.  Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.


6.      Analisa Fenomena Kebijakan Moneter Yang Terjadi di Indonesia dan Cara Mengatasinya
Pada periode 1960-1965, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik. Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak mengherankan, jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan investasi merosot tajam. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang rupiah juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada pemerintah, serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada lembaga-lembaga negara dan pengusaha.
Mulanya pada tahun 1959, pemerintah telah melakukan kebijakan pengetatan moneter sebagai upaya mengatasi tekanan inflasi. Kebijakan pengetatan moneter 1959 tersebut antara lain dilaksanakan dengan mengeluarkan ketentuan pagu kredit bagi tiap-tiap bank secara individual pada tanggal 8 April 1959. Selain itu, pemerintah dengan Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959 melakukan sanering uang pada tanggal 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100, serta melalui UU No. 3 Prp. tahun 1959 membekukan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp 25.000 yang akan diganti menjadi simpanan jangka panjang. Penanganan laju inflasi ini terus berlangsung hingga awal 1960-an dengan melakukan pembatasan kredit perbankan secara kuantitatif dan kualitatif.
Dalam paket kebijakan moneter itu, dilakukan pula devaluasi nilai tukar rupiah sebesar 74,7% dari Rp 11,40 per USD menjadi Rp 45 per USD. Penurunan nilai rupiah tersebut, tidak berlaku dalam perhitungan laba maupun pendapatan yang dikenakan pajak dan tidak diperhitungkan dengan pajak apapun. Pada periode ini ditetapkan pula kebijakan mengenai pungutan ekspor-impor yang dikaitkan dengan harga valuta rupiah. Ketentuan itu mewajibkan eksportir untuk menyerahkan pungutan ekspor sebesar 20% dari harga penjualan sedangkan importir diwajibkan untuk membayar pungutan impor -besarnya berkisar 0-200%, bergantung pada jenis barang impor- kepada pemerintah.
Pada paruh pertama periode 1960-an, pengeluaran anggaran pemerintah semakin besar, terutama dalam pembiayaan proyek pemerintah yang menambah dampak inflatoir dari pelaksanaan keuangan negara. Untuk mengatasi perkembangan ini, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan uang rupiah baru yang nilainya diciutkan. Nilai Rp 1.000 -uang lama- diturunkan menjadi Rp 1 -uang baru. Berikutnya, untuk mempertahankan cadangan devisa yang terus menurun pada periode ini, pemerintah melakukan pengawasan terhadap sumber devisa yaitu lalu lintas perdagangan serta penerimaan dan pengeluaran devisa di bidang jasa-jasa serta pengawasan modal untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri Indonesia lebih cenderung berpihak kepada blok timur. Kedekatan Indonesia dengan Cina dan Rusia menyebabkan renggangnya hubungan Indonesia dengan negara-negara blok barat.
Kemudian, dengan alasan semangat revolusi dan berdikari, pada tanggal 17 Agustus 1965, pemerintah memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan IMF, Bank Dunia, dan PBB. Dengan penarikan diri tersebut, rencana-rencana pengembalian utang atas Outstanding Drawing -sesuai dengan jadwal yang telah disepakati diganti dengan persetujuan Settlement of Account. Utang kepada IMF sejumlah USD 61,9 juta menjadi USD 63,5 juta. Jumlah tersebut, termasuk bunga utang yang akan dilunasi dalam 10 kali angsuran per 6 bulan, terhitung sejak tanggal 17 Februari 1966. Keadaan ekonomi yang semakin tak menentu pada periode ekonomi terpimpin mendorong pemerintah untuk melarang penerbitan Laporan Tahunan Bank Indonesia dan Statistik Moneter. Larangan penerbitan tersebut dilakukan demi menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral untuk mengatur jumlah uang dalam perekonomian guna mengatasi masalah-masalah makroekonomi seperti inflasi, pengangguran dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter dilakukan dengan cara pengawasan agar jumlah dan susunan uang yang beredar dapat membantu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi dan stabil, sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga-harga pada umumnya meningkat. Tiga sektor yang memungkinkan terjadinya inflasi adalah: (1) ekspor-impor; (2) tabungan dan investasi; serta (3) penerimaan dan pengeluaran negar Inflasi tidak akan terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Subjek penyebab inflasi dapat dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan sektor swasta. Tekanan inflasi akan timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaannya, sedangkan pada sektor swasta, tekanan inflasi timbul bila bankbank mengucurkan kredit yang besar guna memenuhi pinjaman sektor swasta tersebut untuk kegiatan-kegiatan, baik lapangan investasi maupun non investasi. Untuk mengatasi inflasi, bank sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan membatasi pemberian kredit atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga cara: kebijakan diskonto, operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.
Kebijakan Moneter 13 Desember 1965
Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh besarnya pengeluran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965. Ketentuan tersebut mencakup nilai perbandingan antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1-, serta pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia, uang kertas dan uang logam pemerintah yang telah beredar sebelum diberlakukannya Penpres tersebut. Sejak saat itu sampai bulan Agustus 1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, semua instansi swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta keperluan administrasi keuangan. Meskipun uang rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga-harga menjadi seperseribu harga lamanya. Kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi.
Bayangkan bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku dengan nilai tukar yang berbeda-beda. Hal itu tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada saat kondisi perekonomian sedemikian berkembang sehingga perekonomian barter (perekonomian yang mensyaratkan double coincidence of want) dirasakan tidak memadai. Uang memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar, alat pengukur nilai, ukuran pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda diantara sekian banyak benda dalam pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang berhubungan erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya. Dengan kata lain, naik turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum permintaan dan penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud dengan nilai uang adalah jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan oleh orang lain kepada kita sebagai pengganti satu kesatuan uang yang kita berikan kepadanya. Naik turunnya nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada saat keinginan masyarakat untuk menyimpan uang tunainya meningkat, hal tersebut akan cenderung menaikan nilai uang dan menurunkan harga barang. Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus membelanjakan setiap uangnya, hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas di lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi semakin berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun akan menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mengatasi inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah kebijakan moneter.
Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru bagi seluru wilayah Republik Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
Arah kebijakan 1959-1966
Awal periode ini ditandai dengan tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu memotong nilai uang sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan simpanan masyarakat untuk dijadikan simpanan jangka panjang. Dana simpanan masyarakat pada perbankan yang dibekukan tersebut harus disetorkan kepada Pemerintah. Akibatnya perbankan mengalami kesulitan likuiditas.
Di bidang politik, Pemerintah menerapkan GBHN baru yang dinamai Manipol (Manifesto Politik) USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Di bawah era Manipol USDEK ini maka seluruh unsur sumber daya dikerahkan untuk mendukung perjuangan revolusi, yaitu perjuangan untuk menjadi bangsa yang berdaulat, bebas dari penjajahan dan bersatu padu membangun kepribadian & karakter bangsa. Pembangunan bidang politik tersebut disertai dengan pembangunan prasarana yang secara ekonomis tidak produktif, atau terkenal dengan sebutan pembangunan proyek mercusuar. Di samping itu, APBN juga terbebani oleh berbagai pengeluaran baru seperti biaya konfrontasi dengan Malaysia, pembebasan Irian Barat dari Belanda dan kenaikan gaji pegawai negeri.
Di bidang ekonomi, pembangunan sektor riil masih juga belum menunjukkan adanya perkembangan sehingga pasokan barang, terutama pangan tetap mengalami kekurangan. Dampak dari berbagai kondisi tersebut menimbulkan pembengkakan defisit APBN yang semakin kronis yang disertai pula oleh defisit cadangan devisa. Sama seperti pada periode sebelumnya, defisit APBN tersebut ditutuap dengan Uang Muka dari bank Indonesia yang pemenuhannya dilakukan dengan cara pencetakan uang. Oleh karena itu uang beredar semakin banyak dan terjadilah hyperinflasi. Tahun 1965/1965 kenaikan inflasi mencapai 635,5% yang sekaligus merupakan inflasi tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Arah kebijakan moneter ditujukan untuk menekan inflasi tersebut.
Kebijakan Devisa 1959-1966
Pada periode ini rezim devisa terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung semakin diperketat melalui kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor berbagai jenis barang. Terjadinya keguncangan pasar di luar negeri pada tahun 1960 an mengakibatkan kemorosotan penerimaan devisa terutama dari ekspor karet yang menjadi komoditas utama pada waktu itu. Munculnya berbagai jenis karet sintetis juga memberikan tekanan/ persaingan terhadap hasil ekspor karet Indonesia. Di samping itu, naiknya impor beras juga sangat membebani cadangan devisa Indonesia. Untuk mengatasi berbagai tekanan tersebut, Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat kebijakan devisa untuk keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi upaya peningkatan ekpor.
Pada akhir tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa untuk menggantikan Deviezen Ordonnantie Tahun 1940 dan Deviezen Verordening Tahun 1940. Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 ini maka devisa yang dimiliki masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan kepada Dana devisa. Walaupun demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun tidak dengan cara menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan dengan cara menetapkan penggunaannya melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.
Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.
Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia 1959-1966
Pada tanggal 25 Agustus 1959, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang dimaksudkan untuk meringankan beban APBN, memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi paket itu terdiri atas devaluasi Rupiah, sanering dan penyempurnaan kebijakan devisa serta ketentuan-ketentuan perdagangan internasional. Devaluasi yang dilakukan adalah mengubah nilai tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per USD1,- Devaluasi ini selain mampu meningkatkan ekspor dan mengakibatkan adanya revaluasi pada pos Kekayaan Emas dan Devisen Bank Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga mengakibatkan naiknya inflasi.
Turunnya harga karet di pasar dunia pada waktu itu merupakan bagian paling besar dari seluruh ekspor Indonesia serta naiknya impor beras sejak tahun 1957 yang masih terus berlanjut, mengakibatkan anjloknya cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut kemudian diatasi antara lain dengan mendorong ekspor secara umum melalui pemberlakuan kurs tambahan bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan ini, setiap penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan nilai tukar sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob. Sementara itu, kepada importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi sesuai golongan barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan II dan Rp.810 untuk golongan III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali, terakhir pada tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar baik bagi eksportir maupun importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat ribu persen) dari kurs tetap Rp45,- per USD1.
Dengan lain perkataan, nilai tukar tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple exchange rate system.


Kebijakan Utang Luar Negeri 1959-1966
Dalam usaha untuk meringankan beban anggaran negara, dan memperbaiki posisi neraca pembayaran, salah satu kebijakan yang ditempuh Pemerintah adalah melalui pinjaman dana dari luar negeri. Seiring dengan adanya perubahan politik luar negeri, utang luar negeri pemerintah sebagian besar diperoleh dari pinjaman negara-negara blok Timur, seperti dari RRC dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain dipergunakan untuk membiayai pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga dipergunakan untuk membiayai proyek yang tidak produktif, seperti untuk konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964. Jumlah utang luar negeri Pemerintah tersebut telah menambah berat beban Pemerintah bila diukur dengan kemampuan membayar kembali baik dari sisi keuangan negara atau tersedianya devisa yang berasal dari ekspor.
Dalam tahun 1959 Indonesia telah mendapat dua pinjaman luar negeri yakni dari Exim Bank sebesar USD 6,9 juta untuk perluasan Pabrik Semen Gresik dan USD 5 juta untuk pembelian pesawat Lockheed Electra. Kemudian pada awal 1960, USEximbank juga telah menjanjikan pemberian pinjaman sebesar USD 47,5 juta yakni untuk membantu pendirian pabrik Urea di Palembang dan pembangunan proyek listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Surabaya. Kenaikan utang yang cukup besar terjadi pada tahun 1961 dan 1962 yakni utang yang diperoleh dari USSR, dan pada tahun 1963 telah diperoleh utang baru dari RRC.
Kebijakan fiscal dan kebijakan moneter
Jika kita berbicara tentang perekonomian Indonesia, yang akan terpikir di benak kita adalah tentang kondisi dan keadaan ekonomi di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk Domestik Bruto (PDB). pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan kondisi perekonomian suatu negara sedang bergairah. Pemerintah mempunyai berbagai kebijakan untuk menjaga atau memperbaiki kualitas perekonomian Indonesia.
Yang pertama adalah kebijakan fiskal. kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
kebijakan fiskal mempunyai berbagai bentuk. salah satu bentuk kebijakan fiskal yang sedang marak adalah BLT. banyak orang melihat BLT hanya bantuan kepada orang yang kurang mampu. sebenarnya di balik itu ada tujuan khusus dari pemerintah. BLT diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, daya beli masyarakat juga meningkat. dengan demikian permintaan dari masyarakat juga meningkat. meningkatnya permintaan dari masyarakat akan mendorong produksi yang pada akhirnya akan memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia.
Contoh lain dari kebijakan fiskal adalah proyek-proyek yang diadakan oleh pemerintah. katakanlah pemerintah mengadakan proyek membangun jalan raya. dalam proyek ini pemerintah membutuhkan buruh dan pekerja lain untuk menyelesaikannya. dengan kata lain proyek ini menyerap SDM sebagai tenaga kerja. hal ini membuat pendapatan orang yang bekerja di situ bertambah. dengan bertambahnya pendapatan mereka akan terjadi efek yang sama dengan BLT tadi.
Kebijakan fiskal juga dapat berupa kostumisasi APBN oleh pemerintah. misalnya dengan deficit financing. defcit financing adalah anggaran dengan menetapkan pengeluaran > penerimaan. deficit financing dapat dilakukan dengan berbagai cara. dahulu pemerintahan Bung Karno pernah menerapkannya dengan cara memperbanyak utang dengan meminjam dari Bank Indonesia. yang terjadi kemudian adalah inflasi besar-besaran (hyper inflation) karena uang yang beredar di masyarakat sangat banyak. untuk menutup anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat. sayangnya, rakyat tidak mempunyai cukup uang untuk memberi pinjaman pada pemerintah. akhirnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar negeri.
Tidak hanya Indonesia, tetapi Amerika Serikat juga pernah menerapkan deficit financing dengan mengadakan suatu proyek. proyek tersebut adalah normalisasi sungan Mississipi dengan nama Tenesse Valley Project. proyek ini dimaksudkan agar tidak terjadi banjir. proyek ini adalah contoh proyek yang menerapkan prinsip padat karya. dengan adanya proyek ini pengeluaran pemerintah memang bertambah, tetapi pendapatan masyarakat juga naik. pada akhirnya hal ini akan mendorong kegiatan ekonomi agar menjadi bergairah.
mari kita mengingat sedikit kejadian pada akhir tahun 1997 saat terjadi krisis moneter di Indonesia. pada saat itu nasabah berduyun-duyun mengambil uang di bank (fenomena bank rush) karena takut bank tidak mempunyai dana yang cukup untuk mengembalikan tabungan mereka. untuk mengatasi masalah ini bank-bank umum diberi pinjaman dari Bank Indonesia yang disebut Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI). Pada saat itu memang seluruh tabungan dijamin oleh pemerintah, maka dari itu pemerintah juga harus mengambil tindakan saat terjadi fenomena tadi.
Seharusnya saat suatu perusahaan (termasuk bank umum) kekurangan modal pemilik harus menambah modalnya pada perusahaan tersebut. ini berlaku pada umum dan pemerintah. jika pemerintah kekurangan dana, pemerintah bisa menambah dana dengan menjual saham yang dimiliki pemerintah. perlu diingat, ada beberapa perusahaan yang sahamnya dimiliki pemerintah. Kebijakan yang kedua adalah kebijakan moneter. kebijakan moneter adalah kebijakan dengan sasaran mempengaruhi jumlah uang yang beredar. jumlah uang yang beredar dapat dipengaruhi oleh Bank Indonesia. selain dengan langsung menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar, mengatur jumlah uang yang beredar juga bisa menggunakan BI Rate. BI rate adalah instrumen dari pemerintah untuk acuan seberapa besar bunga simpanan jangka pendek, misalnya Surat Berharga Indonesia. biasanya bank-bank umum akan menaikkan atau menurunkan suku bunganya seiring dengan naik atau turunnya BI Rate. maka dari itu, saat BI Rate diturunkan, suku bunga kredit juga turun, sehingga biaya investasi ikut turun. dari sini, diharapkan investasi meningkat.
Kebijakan moneter juga mengatur tentang giro wajib minimum, yaitu jumlah simpanan bank umum di Bank Indonesia yang merupakan sebagian dari titipan pihak ketiga. saat ini giro wajib minimum sebesar 8 % dari titipan pihak ketiga. Kebijakan moneter juga berpengaruh dalam perdagangan internasional dengan mengendalikan tarif ekspor impor. jika tarif impor naik, dorongan untuk impor berkurang. jika tarif impor turun, dorongan untuk ipmpor bertambah dan harga barang-barang impor menjadi lebih murah. Sedikit tambahan, sekitar 95 % kapas yang digunakan sebagai produksi di Indonesia adalah hasil impor. dalam kasus ini industri katun sebagai hasil olahan kapas dalam negeri akan turun jika tarif impor naik.
satu lagi kebijakan yang dimiliki pemerintah Indonesia adalah kebijakan sektoral. kebijakan ini menitikberatkan pada satu dari sembilan sektor perekonomian di Indonesia. misalnya, di sektor pertanian pemerintah memberikan subsidi pupuk. subsidi ini diberikan agar harga pupuk murah. dengan demikian pupuk akan terdorong untuk dipakai. contoh lainnya adalah kebijakan di sektor industri. di sektor ini pemerintah membuat kebijakan kawasan ekonomi khusus. kawasan ekonomi khusus adalah kawasan yang khusus digunakan untuk pendirian industri. misalnya, kawasan industri Cilacap. kawasan ini mempunyai hak khusus, misalnya di Batam impor bahan mentah tidak terkena pajak, sehingga hal ini akan mendorong produksi di sana.

Sumber: