MAKALAH
PEREKONOMIAN INDONESIA
ANALISA KEBIJAKAN MONETER
Nama Dosen: Immi Fiska
Nama Kelompok:
KATA PENGANTAR
PEREKONOMIAN INDONESIA
ANALISA KEBIJAKAN MONETER
Nama Dosen: Immi Fiska
Nama Kelompok:
- Ancas Asri Wulandari 2D214048
- Chico Ferdinand 22214345
- Devina Vedasiwi 22214846
- Fathurrahman Sadzali 24314035
- Latifah Arrum Sanda 25214998
- Titan Herdianto 2A214790
- Yusuf Pujianto 2C214616
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, bahwa kami telah menyelesaikan tugas mata kuliah Ilmu
Budaya Dasar. Dalam tugas atau materi ini tidak sedikit hambatan yang kami
hadapi, namun kami menyadari bahwa keberhasilan dalam menyusun materi ini berkat
bantuan, dorongan, dan Bimbingan orang tua. Sehingga kendala-kendala yang kami
hadapi dapat teratasi, oleh karna itu kami mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Immi Fiska selaku dosen mata kuliah
Perekonomian Indonesia, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
2.
Selaku orang tua kami yang telah
membantu kami dalam segi materi, dorongan, dan dukungan.
3.
Serta teman-teman yang telah memberikan
masukan sehingga makalah dapat terselesaikan.
Semoga
materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber pengetahuan untuk berbagai pihak
khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat terselesaikan. Amiin.
Bekasi, 20
Maret 2015
Penulis
Daftar
Isi
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………2
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………….3
Bab 1 : Analisis
Kebijakan Moneter di Indonesia ………………………………………………4
Bab
2 : Analisis Aspek Kelembagaan Pada
Kebijakan Moneter di Indonesia ………………….6
Bab
3 : Analisa Capital Flight di Indonesia
dan Cara Mengatasinya …………………………...7
Bab 4 : Analisa Kebijakan
Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang ………………………….8
Bab 5 : Analisa
Periodisasi, Implementasi Kebijakan Indonesia Kaitannya Dengan Masa Orde Lama
dan Orde Baru …………………………………………………………………….11
Bab
6 : Analisa Fenomena Kebijakan Moneter
Yang Terjadi di Indonesia dan Cara Mengatasinya …………………………………………………………………………....14
Daftar
Pustaka …………………………………………………………………………………..26
1. Analisis Kebijakan Moneter di Indonesia
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar perekonomian menjadi baik, baik disini maksudnya adalah terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan perekonomian. Melalui kebijakan moneter, Pemerintah dapat mengatur jumlah uang yang beredar pada masyarakat, diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat dalam upaya untuk mempertahankan ekonomi bertumbuh sekaligus mengendalikan inflasi. Indonesia pun tidak luput dari kebijakan moneter tersebut. Di Indonesia, beberapa kali kebijakan moneter diambil untuk mengatasi inflasi yang ada. Kebijakan Moneter tersebut diambil dengan memunculkan berbagai macam kebijakan publik yang harus ditaati oleh seluruh Warga Negara Indonesia. Adapun kebijakan moneter sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Kebijakan moneter ekspansif (Monetary
expansive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka
menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi
pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada
saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga
kebijakan moneter longgar (easy money policy)
b. Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary
contractive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat
perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight
money policy).
Untuk
menjalankan kebijakan moneter diatas, pemerintah memiliki 3 Instrument utama
yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), Fasilitas
Diskonto (Discount Rate), dan Rasio
Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio).
Diluar dari 3 instrument tersebut (yang menrupakan kebijakan moneter bersifat
kuantitatif), pemerintah dapat melakukan himbauan moral (Moral Persuasion.
a) Operasi
Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (goverment securities). Jika ingin menambah jumlah uang yang beredar, Pemerintah akan membeli surat berharga. Namun, bila ingin mengurangi jumlah uang yang beredar, maka Pemerintah akan menjual surat berharga kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan SBPU (surat Berharga Pasar Uang).
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (goverment securities). Jika ingin menambah jumlah uang yang beredar, Pemerintah akan membeli surat berharga. Namun, bila ingin mengurangi jumlah uang yang beredar, maka Pemerintah akan menjual surat berharga kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan SBPU (surat Berharga Pasar Uang).
b) Fasilitas
Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas Diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat suku bunga Bank Sentral pada Bank Umum. Bank Umum terkadang mengalami kekurangan dana sehingga harus meminjam kepada Bank Sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, Pemerintah menurunkan tingkat bunga Bank Sentral (tingkat diskonto). Dengan tingkat bunga yang lebih rendah maka pinjaman akan semakin besar diminati oleh Bank Umum. Sebaliknya jika Bank Sentral menaikkan tingkat bunga pinjaman, maka minat Bank Umum untuk meminjam kepada Bank Sentral akan berkurang.
Fasilitas Diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat suku bunga Bank Sentral pada Bank Umum. Bank Umum terkadang mengalami kekurangan dana sehingga harus meminjam kepada Bank Sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, Pemerintah menurunkan tingkat bunga Bank Sentral (tingkat diskonto). Dengan tingkat bunga yang lebih rendah maka pinjaman akan semakin besar diminati oleh Bank Umum. Sebaliknya jika Bank Sentral menaikkan tingkat bunga pinjaman, maka minat Bank Umum untuk meminjam kepada Bank Sentral akan berkurang.
c) Rasio
Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio Cadangan Wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, Pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Namun bila tujuannya untuk mengurangi jumlah uang beredar, maka Pemerintah akan menaikkan rasio.
Rasio Cadangan Wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, Pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Namun bila tujuannya untuk mengurangi jumlah uang beredar, maka Pemerintah akan menaikkan rasio.
d) Imbauan
Moral (Moral Persuasion)
Himbauan
moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan
memberi himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan
agar memberikan kredit secara hati-hati untuk mengurangi jumlah uang yang
beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk
memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
2.
Analisis Aspek Kelembagaan Pada
Kebijakan Moneter di Indonesia
Kebijakan Moneter di Indonesia
adalah suatu kebijakan yang diambil untuk mengatasi inflasi yang ada di
Indonesia. Untuk membuat kebijakan tersebut, hanya ada 2 instrument utama yang
memiliki kekuasaan. Langkah kebijakan moneter di Indonesia dapat diambil oleh
Pemerintah Indonesia dimana lembaga yang berhak menjalankan kebijakan moneter
tersebut adalah Bank Sentral yang ada di Indonesia. Dalam hal ini kebijakan
moneter yang ada di Indonesia yang dimaksud adalah Bank Indonesia. Bank Sentral
adalah bank yang mempunyai hak monopoli untuk mencetak dan mengedarkan uang
sebagai alat pembayaran yang sah dalam suatu Negara. Tujuan Bank Sentral untuk
mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Adapun fungsi dari Bank Sentral
adalah
·
Banker’s bank
·
Sebagai Bank pemerintah
·
Mencetak Uang dan Penyediaan Uang bagi perekonomian
·
Mengatur Pasar Uang dan Pasar Modal
·
Mengawasi Bank – Bank dan lembaga Keuangan
·
Melaksanakan kebijakan Moneter di Indonesia
Contohnya:
rasio cadangan wajib mulanya hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima, perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari deposito yang diterima oleh perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang dari sistem perbankan adalah 10. Namun bila pemerintah menetapkan rasio cadangan wajib sebesar 20%, maka dari setiap deposito yang diterima, perbankan hanya dapat mengalirkan dana pinjaman sebesar 80% dari deposito yang diterima oleh perbankan. untuk pertama kalinya sejak Pakto 1998, Bank Indonesia menggunakan rasio cadangan wajib guna mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih tinggi, yaitu dengan menetapkan rasio cadangan menjadi 3% pada Februari 1996. Sejak April 1997, besarnya rasio cadangan wajib adalah sebesar 5%.
Contohnya:
rasio cadangan wajib mulanya hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima, perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari deposito yang diterima oleh perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang dari sistem perbankan adalah 10. Namun bila pemerintah menetapkan rasio cadangan wajib sebesar 20%, maka dari setiap deposito yang diterima, perbankan hanya dapat mengalirkan dana pinjaman sebesar 80% dari deposito yang diterima oleh perbankan. untuk pertama kalinya sejak Pakto 1998, Bank Indonesia menggunakan rasio cadangan wajib guna mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih tinggi, yaitu dengan menetapkan rasio cadangan menjadi 3% pada Februari 1996. Sejak April 1997, besarnya rasio cadangan wajib adalah sebesar 5%.
3. Analisa
Capital Flight di Indonesia dan Cara Mengatasinya
Capital
Flight sebenarnya bukan hal baru dikalangan para ekonom. Secara teoritis
capital flight telah banyak dibicarakan. Namun sampai saat ini belum ada
definisi capital flight yang dapat diterima secara umum. Tetapi beberapa tahunh
ini penggunaan kata capital flight sering dikaitkan pada negara-negara sedang
berkembang, dimana terjadi sejumlah besar modal keluar (capital outflow) yang
diiringi oleh adanya peningkatan hutang luar negeri.
Pendapat
mengenai capital flight dikemukakan oleh Mohsin Khans-Ulhaque (1987) yang
mendefinisikan capital flight sebagai semua arus modal keluar (capital outflow)
dari negara sedang berkembang dengan tidak memperhatikan latar belakang
terjadinya arus modal tersebut dari dalam negeri dan jenis modal tersebut.
Diartikan sebagai capital flight karena pada umumnya modal dinegara sedang
berkembang kurang(langka), maka arus modal keluar dapat berarti menghilangkan
potensi sumber daya modal yang tersedia, serta pada gilirannya menghilangkan
pula potensi pertumbuhan ekonomi. Sementara Cuddington (1986) mengartikan capital flight sebagai semua arus
modal keluar jangka pendek (short term capital outflow) baik yang tercatat
mauipun yang tidak tercatat.
Hampir
tidak mungkin tidak memastikan jumlah capital flight dari suatu negara,
terutama bagi negara-negara yang menganut sistem devisa bebas. Bahkan untuk
negara yang menganut devisa ketat sekalipun, seperti Taiwan, arus modal tetap
saja keluar tanpa diketahui oleh otoritas moneter negara tersebut. Oleh karena
itu, metode yang lebih tepat untuk menggrafikkan besarnya capital flight dari
suatu negara adalah dengan melakukan estimasi. Apapun untuk melakukan estimasi
mengenai capital flight dapat dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan yakni:
a.
Pendekatan Komputasi Neraca Pembayaran
b.
Pendekatan Residual
c.
Pendekatan Deposito Bank
Di
Indonesia pernah mengalami kasus capital flight. Bahkan jika diteliti lebih
jauh, keadaan yang sebenarnya adalah Indonesia setiap tahun mengalami capital
flight dengan estimasi besaran yang tidak dapat diketahui secara pasti. Kasus
capital flight yang pernah diteliti adalah pada tahun 1996 sampai dengan 2009.
Penelitian capital flight ini dilakukan oleh Kus Virgantari dari Universitas
Indonesia dengan menggunakan data yang ada pada tahun 1996 s/d 2009.
Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa Indonesia
mengalami capital flight tertinggi pada tahun 1997 menuju ke tahun 1998
dikarenakan terjadinya krisis ekonomi di asia tenggara. Kemudian capital flight
kembali terjadi pada tahun 2005 karena terjadinya kasus Bom Bali dan juga
kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Setahun kemudian pada tahun
2006 kembali terjadi kasus capital flight karena penurunan suku Bunga SBI. Dan
terakhir terjadi pada tahun 2008 karena adanya krisis global yang juga melanda
Indonesia.
Untuk mengatasi masalah capital flight tersebut,
dapat dilakukan beberapa cara agar capital flight dapat diredam di Indonesia.
Jika capital flight tidak dapat diredam lajunya, maka Indonesia akan menjadi terpuruk
karena kurangnya investasi yang terjadi. Cara yang dapat dilakukan adalah:
1.
Kebijakan yang tidak terlalu mengontrol
tingkat suku bunga tetapi menjamin kepemilikan modal dan aset milik orang
asing.
2.
Kebijakan yang menjamin stabilitas
politik dan makroekonomi secara umum. (inflasi yang terkendali, pengangguran
rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan nilai tukar yang stabil).
3.
Penetapan pajak yang tidak terlalu
tinggi dan adanya asuransi bagi investor
4.
Analisa
Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang
Devaluasi mata uang
adalah suatu tindakan penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing lainnya
yang dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas
Moneter yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Devaluasi
tersebut biasanya dilakukan apabila rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar
tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya dinilai terlalu tinggi
dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai mata uang tersebut tidak
didukung oleh kekuatan ekonomi negera yang bersangkutan.
Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan
nilai dapat dilihat dari perbedaan inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya
tinggi seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai namun dalam sistem
nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku secara otomatis
karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan pemerintah.
Tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor
yang terus menurun dan industri manufaktur mulai mengalami
penurunan kinerja. Adapun tujuan dari devaluasi adalah
1. Mendorong
ekspor dan membatasi impor. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki posisi balance
of payment, BOP dan balance of trade, BOT agar menjadi equilibrium atau
setidaknya mendekati equilibrium.
2. Mendorong
peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Hal ini dapat dicapai karena
nilai barang impor menjadi lebih mahal dibanding barang lokal, atau domestik.
3. Dengan
tercapainya kesetimbangan BOP diharapkan nilai kurs valuta asing dapat
menjadi relatif stabil.
Tindakan Devaluasi yang diambil oleh pemerintahan dapat mempengaruhi
aktivitas perekonomian baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka
panjang. Dalam jangka pendek, tindakan devaluasi dapat menggeser pengeluaran
atau expenditure switching dari komsumsi produk luar negeri kepada konsumsi
produk dalam negeri. Pergeseran konsumsi ini dapat berakibat terhadap kenaikan harga barang
dan jasa dalam negeri. Kenaikan harga ini akan berpengaruh terhadap konsumsi
masyarakat. Konsumsi masyarakat cenderung turun.
Penurunan konsumsi dapat menyebabkan turunnya aktivitas ekonomi yang
dapat mendorong terjadinya deflasi. Kondisi ekonomi ini dapat mengakibatkan
terjadinya resesi ekonomi.
Dalam jangka menengah, tindakan devaluasi dapat
memperbaiki posisi balance of payment, atau BOP dan balance of trade, atau BOT
melalui mekanisme elastisitas permintaan ekspor dan impor sesuai dengan
Marshall-Lerner-Condition. Selain itu, devaluasi dapat juga memperbaiki posisi
BOP melalui mekanisme moneter.
Dampak jangka panjang merupakan akibat dari dampak yang terjadi pada
jangka pendek dan menengah. Dalam jangka pendek terjadi perubahan harga produk
dan pergeseran konsumsi diikuti dengan peningkatan aliran modal atu devisa pada
jangka menengah. Dampak ini menyebabkan terjadinya pergeseran produksi atau
production switching, baik yang menyangkut tradeable goods maupun nontradeable
good. Pergeseran produksi ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur
ekonomi secara nasional.
Ada beberapa pengaruh dari devaluasi:
1.
Efek terhadap aliran barang (komoditi)
2.
Efek terhadap harga luar negeri
3.
Efek terhadap harga dalam negeri
4.
Efek terhadap kuantitas nilai tukar yg diminta
5.
Efek terhadap kuantitas nilai tukar yang ditawarkan
6.
Efek terhadap Term of Trade (TOT)
7.
Efek terhadap Balance Of Trade (BOT)
8.
Efek terhadap konsumsi domestik dan produksi domestik
Berkaitan dengan kurs mata uang asing, di samping kurs itu dipengaruhi oleh
permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing yang bersangkutan, pemerintah
juga sering mengambil kebijakan penentuan kurs. Kebijakan tersebut bisa berupa devaluasi
maupun revaluasi.
Devaluasi adalah kebijakan
menurunkan nilai mata uang dalam negeri atas mata uang asing. Misalnya, semula
US$ 1=Rp 400,00 lalu menjadi US$=Rp 650,00 (devaluasi pada tanggal 15 November
1978). sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan menaikkan nilai mata uang dalam
negeri atas mata uang asing.
Perlu di cacat bahwa penurunan
nilai rupiah terhadap mata uang asing pada masa krisis moneter di Indonesia
(sejak 1997) tidaklah termasuk devaluasi, sebab bukan merupakan kebijakan
pemerintah. Penurunan nilai akibat tarik menarik antara permintaan dan
penawaran terhadap mata uang rupiah di pasar internasional dan nasional.
Dengan devaluasi, nilai mata
uang asing terhadap Rupiah menjadi naik. Akibatnya, harga barang-barang impor
menjadi sangat tinggi jika dinilai dengan rupiah. Harapan pemerintah, dengan
kebijakan ini impor dapat dikurangi. Sebaliknya, barang-barang yang kita ekspor
ke luar negeri menjadi turun nilainya jika mata uang importirnya bukan rupiah
(sekalipun dilihat dari rupiah tidak turun). Karena nilai barang-barang ekpor
kita di luar negeri lebih rendah maka diharapkan volume ekspor bisa naik (bisa
bersaing di pasar internasional).
Dengan adanya kenaikan ekspor
dan penurunan impor, diharapkan perusahaan-perusahaan di dalam negeri bisa
berkembang. Akibatnya, akan dapat menyerap tanaga kerja yang menganggur dan
meningkatkan perekonomian masyarakat.
Namun, devaluasi juga mempunyai
dampak negatif. Adanya devaluasi membuat harga-harga di dalam negeri mejadi
naik. Selain itu, orang-orang Indonesia yang mempunyai utang luar negeri dalam
bentuk mata uang asing menjadi terpukul sebab utang tersebut menjadi membengkak
jika dilihat dari Rupiah.
Contoh:
Utang Adi US$1 juta. Apabila ia bayar utangnya sebelum 15 November 1978, ia harus membeli US$ dengan kurs US$ 1 = Rp 400,00. jadi Adi harus herus mengeluarkan Rp 400 juta. Namun, apabila ia harus membayar utangnya setelah 15 November 1978, Adi harus mengeluarkan Rp 650 juta ini berarti, devaluasi mengakibatkan utang Adi bertambah dalam nilai Rupiah sebesar Rp250 juta. “tambahan” utang ini dapat mendorong Adi untuk menaikkan harga barang.
Utang Adi US$1 juta. Apabila ia bayar utangnya sebelum 15 November 1978, ia harus membeli US$ dengan kurs US$ 1 = Rp 400,00. jadi Adi harus herus mengeluarkan Rp 400 juta. Namun, apabila ia harus membayar utangnya setelah 15 November 1978, Adi harus mengeluarkan Rp 650 juta ini berarti, devaluasi mengakibatkan utang Adi bertambah dalam nilai Rupiah sebesar Rp250 juta. “tambahan” utang ini dapat mendorong Adi untuk menaikkan harga barang.
5. Analisa
Periodisasi, Implementasi Kebijakan Indonesia Kaitannya Dengan Masa Orde Lama
dan Orde Baru
a. Kebijakan Moneter Orde Lama
Kebijaksanaan pemerintah pada masa ini lebih
diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan semua factor dari unsur-unsur
peninggalan orde lama, tertama dari paham komunis. Selain itu kebijaksanaan
pemerintahan dalam mengupayakan penurunan tingkat inflansi yang masih sangat
tinggi. Kebijakan ini cukup berhasil menekan inflasi dari +/- 650% menjadi
hanya +/- 10% saja,suatu prestasi ekonomi yang tidak kecil. Kebijakan di bidang
moneter dengan tujuan untuk menaikkan hasil produksi nasional,serta untuk menaikkan
daya saing komoditi ekspor,yang pada masa ini menjadi lemah karena :
1.
Adanya inflasi yang besarnya rata-rata
34%,sehingga komoditi ekspor Indonesia menjadi mahal di pasar dunia,akibatnya
kurang dapat bersaing dengan produk sejenis dari Negara lain.
2.
Adanya resesi dan krisis dunia pada
tahun 1979.
Pada Awal Masa Orde Baru
Di awal Orde
Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan
berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto
pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650%
setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Soeharto.
Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang
berbeda jauh dengan kebijakan Soekarno, pendahhulunya. Hal ini beliau lakukan
dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan
ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat
untuk menarik modal.
Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaruan
Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat
kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Mendobrak kemacetan ekonomi dan
memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya
penerimaan Negara,
tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak
tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang
berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2.
Debirokratisasi untuk memperlancar
kegiatan perekonomian.
3.
Berorientasi pada kepentingan produsen
kecil.
Untuk
melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:
1. Mengadakan
operasi pajak.
2. Cara pemungutan
pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak
sendiri dan menghitung pajak orang.
3. memperbaiki
sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya penerimaan
Negara, tinggi dan tidak
efisiennya pengeluaran Negara,
terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak
tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang
berorientasi pada kebutuhan prasarana
4. Debirokratisasi
untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
5. Berorientasi
pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah
penyelamatan tersebut maka ditempuh cara :
1. Mengadakan
operasi pajak.
2. Cara pemungutan
pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak
sendiri dan menghitung pajak orang.
Jadi Pada
masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek
kehidupan. Dengan tujuannya untuk
terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan,
yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat
dan dinamis.
Pembangunan nasional pada hakikatnya
adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya. Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu
kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan
eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi
makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan
kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang.
Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan
moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh
kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang
kemudian ditransfer pada sektor riil.
6. Analisa
Fenomena Kebijakan Moneter Yang Terjadi di Indonesia dan Cara Mengatasinya
Pada
periode 1960-1965, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai
akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik.
Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi
Indonesia akibat membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak
mengherankan, jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan
investasi merosot tajam. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia
(BI) dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang
rupiah juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada
pemerintah, serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada
lembaga-lembaga negara dan pengusaha.
Mulanya
pada tahun 1959, pemerintah telah melakukan kebijakan pengetatan moneter
sebagai upaya mengatasi tekanan inflasi. Kebijakan pengetatan moneter 1959
tersebut antara lain dilaksanakan dengan mengeluarkan ketentuan pagu kredit
bagi tiap-tiap bank secara individual pada tanggal 8 April 1959. Selain itu, pemerintah
dengan Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959 melakukan sanering uang pada
tanggal 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 dan Rp
1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100, serta melalui UU No. 3 Prp. tahun 1959
membekukan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp 25.000
yang akan diganti menjadi simpanan jangka panjang. Penanganan laju inflasi ini
terus berlangsung hingga awal 1960-an dengan melakukan pembatasan kredit
perbankan secara kuantitatif dan kualitatif.
Dalam
paket kebijakan moneter itu, dilakukan pula devaluasi nilai tukar rupiah
sebesar 74,7% dari Rp 11,40 per USD menjadi Rp 45 per USD. Penurunan nilai
rupiah tersebut, tidak berlaku dalam perhitungan laba maupun pendapatan yang
dikenakan pajak dan tidak diperhitungkan dengan pajak apapun. Pada periode ini
ditetapkan pula kebijakan mengenai pungutan ekspor-impor yang dikaitkan dengan
harga valuta rupiah. Ketentuan itu mewajibkan eksportir untuk menyerahkan
pungutan ekspor sebesar 20% dari harga penjualan sedangkan importir diwajibkan
untuk membayar pungutan impor -besarnya berkisar 0-200%, bergantung pada jenis
barang impor- kepada pemerintah.
Pada paruh
pertama periode 1960-an, pengeluaran anggaran pemerintah semakin besar,
terutama dalam pembiayaan proyek pemerintah yang menambah dampak inflatoir dari
pelaksanaan keuangan negara. Untuk mengatasi perkembangan ini, pada tanggal 13
Desember 1965, pemerintah menerbitkan uang rupiah baru yang nilainya diciutkan.
Nilai Rp 1.000 -uang lama- diturunkan menjadi Rp 1 -uang baru. Berikutnya,
untuk mempertahankan cadangan devisa yang terus menurun pada periode ini,
pemerintah melakukan pengawasan terhadap sumber devisa yaitu lalu lintas
perdagangan serta penerimaan dan pengeluaran devisa di bidang jasa-jasa serta
pengawasan modal untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Pada masa
demokrasi terpimpin, politik luar negeri Indonesia lebih cenderung berpihak
kepada blok timur. Kedekatan Indonesia dengan Cina dan Rusia menyebabkan
renggangnya hubungan Indonesia dengan negara-negara blok barat.
Kemudian,
dengan alasan semangat revolusi dan berdikari, pada tanggal 17 Agustus 1965,
pemerintah memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan IMF, Bank Dunia, dan
PBB. Dengan penarikan diri tersebut, rencana-rencana pengembalian utang atas
Outstanding Drawing -sesuai dengan jadwal yang telah disepakati diganti dengan
persetujuan Settlement of Account. Utang kepada IMF sejumlah USD 61,9 juta
menjadi USD 63,5 juta. Jumlah tersebut, termasuk bunga utang yang akan dilunasi
dalam 10 kali angsuran per 6 bulan, terhitung sejak tanggal 17 Februari 1966.
Keadaan ekonomi yang semakin tak menentu pada periode ekonomi terpimpin
mendorong pemerintah untuk melarang penerbitan Laporan Tahunan Bank Indonesia
dan Statistik Moneter. Larangan penerbitan tersebut dilakukan demi menjaga
stabilitas perekonomian Indonesia.
Kebijakan
moneter merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral untuk mengatur
jumlah uang dalam perekonomian guna mengatasi masalah-masalah makroekonomi
seperti inflasi, pengangguran dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan
moneter dilakukan dengan cara pengawasan agar jumlah dan susunan uang yang
beredar dapat membantu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi dan stabil,
sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Inflasi
adalah suatu keadaan di mana harga-harga pada umumnya meningkat. Tiga sektor
yang memungkinkan terjadinya inflasi adalah: (1) ekspor-impor; (2) tabungan dan
investasi; serta (3) penerimaan dan pengeluaran negar Inflasi tidak akan
terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Subjek penyebab inflasi dapat
dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan sektor swasta. Tekanan inflasi akan
timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada
penerimaannya, sedangkan pada sektor swasta, tekanan inflasi timbul bila
bankbank mengucurkan kredit yang besar guna memenuhi pinjaman sektor swasta
tersebut untuk kegiatan-kegiatan, baik lapangan investasi maupun non investasi.
Untuk mengatasi inflasi, bank sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan
membatasi pemberian kredit atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga
cara: kebijakan diskonto, operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.
Kebijakan Moneter 13 Desember 1965
Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran
pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi
yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh
besarnya pengeluran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti
Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces
(Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah
Indonesia, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat
pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia melalui Penetapan
Presiden (Penpres) No. 27/1965. Ketentuan tersebut mencakup nilai perbandingan
antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus untuk
Irian Barat -Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1-, serta
pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia, uang kertas dan uang logam
pemerintah yang telah beredar sebelum diberlakukannya Penpres tersebut. Sejak
saat itu sampai bulan Agustus 1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama
beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, semua instansi
swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan
harga barang dan jasa serta keperluan administrasi keuangan. Meskipun uang
rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga-harga
menjadi seperseribu harga lamanya. Kebijakan ini justru meningkatkan beban
pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi.
Bayangkan bila dalam suatu negara
terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku dengan nilai tukar yang
berbeda-beda. Hal itu tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter negara
tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun
waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui
Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru
untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi
Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada saat
kondisi perekonomian sedemikian berkembang sehingga perekonomian barter
(perekonomian yang mensyaratkan double coincidence of want)
dirasakan tidak memadai. Uang memiliki peranan yang sangat penting dalam
perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar,
alat pengukur nilai, ukuran pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda diantara
sekian banyak benda dalam pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat
mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang berhubungan
erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya. Dengan kata lain, naik
turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum permintaan dan penawaran.
Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud dengan nilai uang adalah jumlah
barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan oleh orang lain kepada kita sebagai
pengganti satu kesatuan uang yang kita berikan kepadanya. Naik turunnya nilai
uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada saat keinginan masyarakat untuk
menyimpan uang tunainya meningkat, hal tersebut akan cenderung menaikan nilai
uang dan menurunkan harga barang. Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus
membelanjakan setiap uangnya, hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan
menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas di
lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi semakin
berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan meningkatkan
aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun akan menyebabkan
inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mengatasi inflasi dalam
perekonomian suatu negara adalah kebijakan moneter.
Pada tahun 1965, salah satu
kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada
saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru bagi seluru wilayah Republik
Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal
13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan
perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari
Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh
wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
Arah kebijakan 1959-1966
Awal periode ini ditandai dengan
tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu memotong nilai uang
sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan simpanan masyarakat untuk
dijadikan simpanan jangka panjang. Dana simpanan masyarakat pada perbankan yang
dibekukan tersebut harus disetorkan kepada Pemerintah. Akibatnya perbankan
mengalami kesulitan likuiditas.
Di bidang politik, Pemerintah
menerapkan GBHN baru yang dinamai Manipol (Manifesto Politik) USDEK
(Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Di bawah era Manipol USDEK ini maka seluruh
unsur sumber daya dikerahkan untuk mendukung perjuangan revolusi, yaitu
perjuangan untuk menjadi bangsa yang berdaulat, bebas dari penjajahan dan
bersatu padu membangun kepribadian & karakter bangsa. Pembangunan bidang
politik tersebut disertai dengan pembangunan prasarana yang secara ekonomis
tidak produktif, atau terkenal dengan sebutan pembangunan proyek mercusuar. Di
samping itu, APBN juga terbebani oleh berbagai pengeluaran baru seperti biaya
konfrontasi dengan Malaysia, pembebasan Irian Barat dari Belanda dan kenaikan
gaji pegawai negeri.
Di bidang ekonomi, pembangunan sektor riil masih juga belum
menunjukkan adanya perkembangan sehingga pasokan barang, terutama pangan tetap
mengalami kekurangan. Dampak dari berbagai kondisi tersebut menimbulkan
pembengkakan defisit APBN yang semakin kronis yang disertai pula oleh defisit
cadangan devisa. Sama seperti pada periode sebelumnya, defisit APBN tersebut
ditutuap dengan Uang Muka dari bank Indonesia yang pemenuhannya dilakukan
dengan cara pencetakan uang. Oleh karena itu uang beredar semakin banyak dan
terjadilah hyperinflasi. Tahun 1965/1965 kenaikan inflasi mencapai 635,5% yang
sekaligus merupakan inflasi tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia.
Arah kebijakan moneter ditujukan untuk menekan inflasi tersebut.
Kebijakan Devisa 1959-1966
Pada periode ini rezim devisa
terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung semakin diperketat melalui
kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor berbagai jenis barang. Terjadinya
keguncangan pasar di luar negeri pada tahun 1960 an mengakibatkan kemorosotan
penerimaan devisa terutama dari ekspor karet yang menjadi komoditas utama pada
waktu itu. Munculnya berbagai jenis karet sintetis juga memberikan tekanan/
persaingan terhadap hasil ekspor karet Indonesia. Di samping itu, naiknya impor
beras juga sangat membebani cadangan devisa Indonesia. Untuk mengatasi berbagai
tekanan tersebut, Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat kebijakan
devisa untuk keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi upaya
peningkatan ekpor.
Pada akhir tahun 1964 Pemerintah
mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa untuk menggantikan
Deviezen Ordonnantie Tahun 1940 dan Deviezen Verordening Tahun
1940. Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 ini maka devisa yang dimiliki
masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan kepada Dana devisa. Walaupun
demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun tidak dengan cara menyetorkan
kepada Dana Devisa melainkan dengan cara menetapkan penggunaannya melalui
perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri,
dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.
Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus ditingkatkan,
antara lain melalui peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.
Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
1959-1966
Pada tanggal 25 Agustus 1959,
Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang dimaksudkan untuk meringankan
beban APBN, memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi
paket itu terdiri atas devaluasi Rupiah, sanering dan penyempurnaan kebijakan
devisa serta ketentuan-ketentuan perdagangan internasional. Devaluasi yang
dilakukan adalah mengubah nilai tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per
USD1,- Devaluasi ini selain mampu meningkatkan ekspor dan mengakibatkan adanya
revaluasi pada pos Kekayaan Emas dan Devisen Bank Indonesia dan bank-bank
devisa lainnya, juga mengakibatkan naiknya inflasi.
Turunnya harga karet di pasar dunia
pada waktu itu merupakan bagian paling besar dari seluruh ekspor Indonesia
serta naiknya impor beras sejak tahun 1957 yang masih terus berlanjut,
mengakibatkan anjloknya cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut kemudian
diatasi antara lain dengan mendorong ekspor secara umum melalui pemberlakuan
kurs tambahan bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan ini, setiap
penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan nilai tukar
sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob. Sementara itu, kepada
importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi sesuai golongan
barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan II dan Rp.810
untuk golongan III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali,
terakhir pada tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar baik bagi
eksportir maupun importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat ribu persen)
dari kurs tetap Rp45,- per USD1.
Dengan lain perkataan, nilai tukar
tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple exchange rate system.
Kebijakan Utang Luar Negeri
1959-1966
Dalam usaha untuk meringankan beban
anggaran negara, dan memperbaiki posisi neraca pembayaran, salah satu kebijakan
yang ditempuh Pemerintah adalah melalui pinjaman dana dari luar negeri. Seiring
dengan adanya perubahan politik luar negeri, utang luar negeri pemerintah
sebagian besar diperoleh dari pinjaman negara-negara blok Timur, seperti dari
RRC dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain dipergunakan untuk membiayai
pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga dipergunakan untuk membiayai
proyek yang tidak produktif, seperti untuk konfrontasi dengan Malaysia tahun
1964. Jumlah utang luar negeri Pemerintah tersebut telah menambah berat beban
Pemerintah bila diukur dengan kemampuan membayar kembali baik dari sisi
keuangan negara atau tersedianya devisa yang berasal dari ekspor.
Dalam tahun 1959 Indonesia telah
mendapat dua pinjaman luar negeri yakni dari Exim Bank sebesar USD 6,9 juta
untuk perluasan Pabrik Semen Gresik dan USD 5 juta untuk pembelian pesawat Lockheed
Electra. Kemudian pada awal 1960, USEximbank juga telah menjanjikan
pemberian pinjaman sebesar USD 47,5 juta yakni untuk membantu pendirian pabrik
Urea di Palembang dan pembangunan proyek listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) di Surabaya. Kenaikan utang yang cukup besar terjadi pada tahun 1961 dan
1962 yakni utang yang diperoleh dari USSR, dan pada tahun 1963 telah diperoleh
utang baru dari RRC.
Kebijakan fiscal dan kebijakan
moneter
Jika kita berbicara tentang
perekonomian Indonesia, yang akan terpikir di benak kita adalah tentang kondisi
dan keadaan ekonomi di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia dapat diukur
dengan menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk
Domestik Bruto (PDB). pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan
kondisi perekonomian suatu negara sedang bergairah. Pemerintah mempunyai
berbagai kebijakan untuk menjaga atau memperbaiki kualitas perekonomian
Indonesia.
Yang pertama adalah kebijakan
fiskal. kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN).
kebijakan fiskal mempunyai berbagai bentuk. salah satu
bentuk kebijakan fiskal yang sedang marak adalah BLT. banyak orang melihat BLT
hanya bantuan kepada orang yang kurang mampu. sebenarnya di balik itu ada
tujuan khusus dari pemerintah. BLT diharapkan mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat. dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, daya beli masyarakat
juga meningkat. dengan demikian permintaan dari masyarakat juga meningkat.
meningkatnya permintaan dari masyarakat akan mendorong produksi yang pada
akhirnya akan memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia.
Contoh lain dari kebijakan fiskal
adalah proyek-proyek yang diadakan oleh pemerintah. katakanlah pemerintah
mengadakan proyek membangun jalan raya. dalam proyek ini pemerintah membutuhkan
buruh dan pekerja lain untuk menyelesaikannya. dengan kata lain proyek ini
menyerap SDM sebagai tenaga kerja. hal ini membuat pendapatan orang yang
bekerja di situ bertambah. dengan bertambahnya pendapatan mereka akan terjadi
efek yang sama dengan BLT tadi.
Kebijakan fiskal juga dapat berupa
kostumisasi APBN oleh pemerintah. misalnya dengan deficit financing. defcit
financing adalah anggaran dengan menetapkan pengeluaran > penerimaan.
deficit financing dapat dilakukan dengan berbagai cara. dahulu pemerintahan
Bung Karno pernah menerapkannya dengan cara memperbanyak utang dengan meminjam
dari Bank Indonesia. yang terjadi kemudian adalah inflasi besar-besaran (hyper
inflation) karena uang yang beredar di masyarakat sangat banyak. untuk menutup
anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat. sayangnya, rakyat tidak
mempunyai cukup uang untuk memberi pinjaman pada pemerintah. akhirnya,
pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar negeri.
Tidak hanya Indonesia, tetapi
Amerika Serikat juga pernah menerapkan deficit financing dengan mengadakan
suatu proyek. proyek tersebut adalah normalisasi sungan Mississipi dengan nama
Tenesse Valley Project. proyek ini dimaksudkan agar tidak terjadi banjir.
proyek ini adalah contoh proyek yang menerapkan prinsip padat karya. dengan
adanya proyek ini pengeluaran pemerintah memang bertambah, tetapi pendapatan
masyarakat juga naik. pada akhirnya hal ini akan mendorong kegiatan ekonomi
agar menjadi bergairah.
mari kita mengingat sedikit kejadian pada akhir tahun 1997
saat terjadi krisis moneter di Indonesia. pada saat itu nasabah berduyun-duyun
mengambil uang di bank (fenomena bank rush) karena takut bank tidak mempunyai
dana yang cukup untuk mengembalikan tabungan mereka. untuk mengatasi masalah
ini bank-bank umum diberi pinjaman dari Bank Indonesia yang disebut Bantuan
Langsung Bank Indonesia (BLBI). Pada saat itu memang seluruh tabungan dijamin
oleh pemerintah, maka dari itu pemerintah juga harus mengambil tindakan saat
terjadi fenomena tadi.
Seharusnya saat suatu perusahaan
(termasuk bank umum) kekurangan modal pemilik harus menambah modalnya pada
perusahaan tersebut. ini berlaku pada umum dan pemerintah. jika pemerintah
kekurangan dana, pemerintah bisa menambah dana dengan menjual saham yang
dimiliki pemerintah. perlu diingat, ada beberapa perusahaan yang sahamnya
dimiliki pemerintah. Kebijakan yang kedua adalah kebijakan moneter. kebijakan
moneter adalah kebijakan dengan sasaran mempengaruhi jumlah uang yang beredar.
jumlah uang yang beredar dapat dipengaruhi oleh Bank Indonesia. selain dengan
langsung menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar, mengatur jumlah
uang yang beredar juga bisa menggunakan BI Rate. BI rate adalah instrumen dari
pemerintah untuk acuan seberapa besar bunga simpanan jangka pendek, misalnya Surat
Berharga Indonesia. biasanya bank-bank umum akan menaikkan atau menurunkan suku
bunganya seiring dengan naik atau turunnya BI Rate. maka dari itu, saat BI Rate
diturunkan, suku bunga kredit juga turun, sehingga biaya investasi ikut turun.
dari sini, diharapkan investasi meningkat.
Kebijakan moneter juga mengatur tentang giro wajib minimum,
yaitu jumlah simpanan bank umum di Bank Indonesia yang merupakan sebagian dari
titipan pihak ketiga. saat ini giro wajib minimum sebesar 8 % dari titipan
pihak ketiga. Kebijakan moneter juga berpengaruh dalam perdagangan
internasional dengan mengendalikan tarif ekspor impor. jika tarif impor naik,
dorongan untuk impor berkurang. jika tarif impor turun, dorongan untuk ipmpor
bertambah dan harga barang-barang impor menjadi lebih murah. Sedikit tambahan,
sekitar 95 % kapas yang digunakan sebagai produksi di Indonesia adalah hasil
impor. dalam kasus ini industri katun sebagai hasil olahan kapas dalam negeri
akan turun jika tarif impor naik.
satu lagi kebijakan yang dimiliki pemerintah Indonesia
adalah kebijakan sektoral. kebijakan ini menitikberatkan pada satu dari
sembilan sektor perekonomian di Indonesia. misalnya, di sektor pertanian
pemerintah memberikan subsidi pupuk. subsidi ini diberikan agar harga pupuk
murah. dengan demikian pupuk akan terdorong untuk dipakai. contoh lainnya
adalah kebijakan di sektor industri. di sektor ini pemerintah membuat kebijakan
kawasan ekonomi khusus. kawasan ekonomi khusus adalah kawasan yang khusus
digunakan untuk pendirian industri. misalnya, kawasan industri Cilacap. kawasan
ini mempunyai hak khusus, misalnya di Batam impor bahan mentah tidak terkena
pajak, sehingga hal ini akan mendorong produksi di sana.
Sumber:
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar